Dalam pertemuan pertama mata kuliah komunikasi politik yang saya bawakan beberapa hari lalu, sempat menyinggung pesta demokrasi. Yakni pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif, yang berlangsung 14 Februari kemarin.
Saya menanyakan beberapa hal kepada mahasiswa. Pertanyaan pertama adalah, siapa-siapa yang ikut memilih dalam pemilu lalu? Dari dua puluh tiga mahasiswa yang hadir, satu orang menyatakan tidak ikut memilih. Mengapa tidak memilih? Karena sedang menemani temannya yang datang dari Pulau Jawa untuk rekreasi ke Tana Toraja.
Setingkat mahasiswa, masih menganggap bahwa pemilu tidak begitu penting baginya. Berpartisipasi secara kongkrit dalam proses demokrasi di negara ini, tidak kalah penting daripada menghargai arti sebuah persahabatan.
Di negara kita, memilih adalah hak. Bukan sebuah kewajiban. Berbeda dengan di negara-negara maju, seperti Australia dan Singapura. Di Australia, seorang warga negara yang tidak ikut pemilu tanpa alasan yang rasional, bisa dihukum atau kena denda atas putusan pengadilan. Hukuman paling ringan adalah kerja sosial, misalnya membersihkan pantai atau taman-taman dalam kota. Di Singapura, jika tidak pemilu saat ini, maka dalam pemilu berikutnya, tidak akan didaftarkan sebagai peserta pemilu. Jika mau ikut pemilu, maka prosedurnya akan panjang.
Kemudian saya bertanya lagi. Darimana kalian mengetahui adanya pemilihan umum? Darimana kalian mengetahui nama-nama calon yang akan dipilih? Mereka semua kompak menjawab. Melalui media sosial. Tidak ada yang menjawab melalui saluran resmi, atau jalur formal. Seperti mengikuti kampanye atau sosialisasi tatap muka yang dilakukan pihak-pihak yang berkepentingan. Satupun tidak ada yang mengaku ikut dalam kampanye terbuka atau semacam gerak jalan yang diadakan calon tertentu.
Berbeda dengan saya dulu ketika mahasiswa, yang mana pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Bersama beberapa kawan ikut mendengarkan orasi juru kampanye di lapangan Karebosi atau depan lapangan Mattoanging Makassar. Juga membaca pemberitaan melalui media cetak dan mendengarkan ulasan melalui radio atau televisi.
Seterusnya adalah, apakah yang menyebabkan kalian menentukan pilihan kepada calon tertentu? Ada tiga jawaban kelompok mahasiswa yang berbeda. Pertama, memilih si A, karena ia meyakini bahwa si A ini memiliki kemampuan menyelesaikan persoalan dalam dan luar negeri karena dekat atau menjadi bagian dari pemerintahan. Kelompok kedua, menjawab si B. Hal ini karena mereka tertarik dengan programnya yang akan melakukan pemerataan di seluruh Indonesia, bukan bertumpu pada satu kawasan saja.
Kemudian yang ketiga, memilih si C. Jawaban ini cukup unik untuk ukuran mahasiswa sebagai kalangan terpelajar dan bagian dari sosial kontrol dalam bernegara. Dia tidak menjelaskan kemampuan atau program kerja si C. Jadi apa jawabannya? Adalah karena permintaan ayahnya. Beberapa hari sebelumnya, sang ayah meneleponnya, untuk memilih si C. Apakah ada paksaan atau ancaman dari ayah? Tidak. Saya menghormati pilihan ayahku, katanya.
Hal lain yang saya tanyakan kepada mahasiswa adalah, apakah kalian mendapatkan uang dari serangan fajar? Sebagian tidak menjawab dengan jelas, cenderung malu-malu. Ini menunjukkan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang menerima serangan fajar.
Namun ada dua orang mengaku terus terang menerima menerima uang. Satu orang mengaku menerima dua ratus ribu Rupiah. Tapi bukan dari pasangan capres. Melainkan dari calon legislatif tingkat kabupaten. Apakah calon yang kamu pilih itu berhasil lulus? Jawabannya, tidak.
Satu orang menerima tiga ratus ribu dari manajemen capres tertentu. Tapi dia buru-buru mengatakan bahwa uang yang dia terima itu, bukanlah serangan fajar. Jadi sebagai apa? Saya bekerja untuk tim mereka. Kerja apa? Saya ikut membagikan video-video yang baik tentang capres tertentu dan video-video yang menyudutkan capres tertentu, katanya. Apakah calon yang kamu bantu ini menang? Biarlah kami yang tahu.***
Majene, 09.03.2024
*Haidir Fitra Siagian*
Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar