Gowa (KPI) - Bulan Ramadan adalah bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin, bulan yang memang Allah SWT. menjanjikan pahala yang berlipat ganda di dalamnya.
Pertama saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya Muhammad Najamuddin alumni dari pondok pesantren pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja yang pada tahun 2023 lolos sebagai mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
Di Bulan Ramadan ini, saya teringat di masa saya masih mondok, yang mana salah satu program pesantren pada saat bulan Ramadan adalah dengan safari Ramadan hingga ke pelosok tanah Minoritas (Tana Toraja-Toraja Utara). Pada saat itu kami dibentuk menjadi beberapa kelompok, di mana pada saat itu kelompok saya diberikan amanah untuk safari ramadhan di pelosok tana Toraja tepatnya di kecamatan bittuang. Singkat cerita kami telah sampai di kecamatan bittuang, awalnya saya kira kami akan safari ramadhan di pusat kecamatan bittuang, akan tetapi ternyata kami di tempatkan di perbatasan bittuang-masanda yang jauh dari pusat Tana Toraja.
Sesampainya kami di masjid yang akan kami isi selama satu pekan kedepan, kami hanya disambut oleh seorang imam masjid yang juga adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar yang sedang melakukan pengabdian, bersama seorang lelaki tua bersama istri dan anaknya yang masih berusia lebih kurang 5 tahun.
Hari semakin gelap, matahari memberikan sinar berwarna jingga sebagai tanda bahwa sebentar lagi waktu magrib atau waktu berbuka puasa tiba. Pada saat waktu berbuka tiba, kami disuguhkan dengan ubi rebus. Namun hanya dalam waktu 5 menit, ubi rebus itu menjadi dingin karena hawa di tempat tersebut sangat dingin. Kami sedikit mengobrol dengan imam masjid dan orang yang tinggal di samping masjid, saya terkejut mendengar bahwa ternyata jumlah jamaah masjid tersebut hanya 7 keluarga saja, sebenarnya itu hal yang wajar di temui di pelosok tana Toraja lainnya.
Setelah azan magrib kami solat berjamaah hanya 8 orang, saat kami menunggu waktu isya, ada rombongan anak kecil 4 laki laki dan 2 perempuan dengan rambut lurus berdatangan sambil kejar-kejaran di samping masjid, ternyata mereka adalah anak yang sering mengaji di masjid di ajar oleh imam masjid tersebut.
Setelah solat isya dan tarawih, anak-anak kecil tadi dengan polosnya menyalami kami satu persatu, dengan tangan kecil dan dingin dari anak tersebut saya tanya kepada mereka “Tae sia mu mataku Sule bongi sangmne?” (Apakah kamu tidak takut pulang malam?) Dengan wajah polos salah satu anak laki-laki menjawab “to matuang ku saja ku ewa apalagi ke setang sia ri” (orang tua saya saja saya lawan apalagi kalau hanya setan) ucapan yang keluar dari anak laki-laki polos tersebut. Awalnya saya menganggap hal itu adalah hal yang tidak seharusnya keluar dari lisan anak kecil, namun saya hanya tersenyum kecil kepada anak tersebut.
Malam semakin dingin, kami pun ikut merasakan dinginnya malam itu. Untungnya orang yang tinggal di samping masjid memberikan kami banyak selimut, bahkan pada saat itu saya masih ingat saya memakai 3 lapis selimut karena sangat dingin.
Tak terasa salah satu dari kami membangunkan kami. Kami pun sahur dengan menu sederhana yang di sediakan oleh orang yang tinngal di samping masjid. Salah satu program kami di pagi hari adalah membersihkan masjid dan juga mengajar mengaji anak-anak. Ada yang unik pada saat kami mengajar mengaji, yang mana ada salah satu anak yang tidak bisa bicara. Saya tercengang lantas merenungi diri saya. Bersama dengan adeknya yang perempuan yang datang dengan rambut panjang yang menawan, dan memakai kerudung pada saat ia masuk kedalam masjid. Saya kemudian bertanya kepada salah satu anak, apakah rumah mu jauh dari masjid? Dia menjawab dengan wajah polos yang penuh dengan kebohongan “Dekat ji”. Namun, saya melihat tidak ada rumah yang dekat dari masjid selain rumah yang menyiapkan sahur kepada kami.
Tidak terasa 3 hari berlalu dengan begitu cepatnya, tepatnya malam terakhir kami berada di masjid tersebut dan terakhir kali kami mengajar sebelum pamit. Saya kembali bertanya kepada anak yang sama apakah rumah mu jauh, dan lagi-lagi dia menjawab dengan jawaban yang sama. Saya kembali mengulang pertanyaan yang sama, ternyata dia terbuka dan mau bercerita kepada saya.
Dengan wajah polos dia bercerita tentang dirinya, ternyata kedua orang tuanya adalah non-muslim dan dalam beberapa kesempatan dia di ajak masuk kristen oleh keluarganya, dan pada akhirnya dia tinggal bersama dengan nenek nya. Umur segitu seharusnya mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya, dia harus merasakan pahitnya berpisah dengan orang tua hanya karena berbeda keyakinan.
Suatu renungan bagi saya pribadi yang seharusnya dengan keadaan saya sekarang harusnya saya lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada sang pencipta, bukan malah bermalas – malasan. Tak terasa mobil yang kami tumpangi telah tiba dan kami pamit terlebih dahulu kepada anak – anak yang kami ajar mengaji terlebih kepada mereka yang menyiapkan hidangan sahur dan berbuka kepada kami.
Seorang gadis yang tadi bercerita kepada saya ternyata menangis pada saat saya berpamitan, dengan cepat saya memberikan hadiah Al Qur’an kepada anak itu, seharusnya saya memberi nya hadiah yang lain karena telah membuat saya merenungi diri saya, akan tetapi karena keterbatasan yang saya miliki, hanya Al Qur’an dan sedikit “pepasan” pesan-pesan yang saya berikan. Ada pemandangan yang mengesankan yang saya saksikan pada saat saya akan naik ke atas mobil, anak- anak yang kami ajar mengaji ternyata meneteskan air matanya, dengan wajah polos mereka melambaikan tangan kepada kami. Akhirnya kami kembali ke pondok kami (pondok pesantren pembangunan Muhammadiyah Tana Toraja) pesantren yang telah berumur lebih dari 30 tahun dan pesantren pertama di tana Toraja.
Pada akhirnya memang benar bulan ramadhan
adalah bulan yang penuh berkah, dan salah satu berkah yang saya dapatkan adalah
renungan dari anak kelas 5 SD. Bukan renungan dari pepatah orang bijak,
profesor atau ustad, tapi renungan berupa cerita dari anak yang masih memiliki
wajah polos, anak yang di harapkan menjadi pelita agama Islam di pelosok Tana
Toraja. Itulah sepenggal cerita saya pada bulan ramadhan 1440H/2019M. Tepatnya
pada saat saya masih duduk di kelas 9 SMP. “Terimakasih telah membuat saya
merenungi diri saya” - Bittuang, 8 Ramadhan 1440H. Sang Pencerah Dari Tanah
Minoritas. (Muhammad Najamuddin)