Tiga Bangsa Tiga Perilaku yang Berbeda
Oleh : Haidir Fitra Siagian (Sekretaris Jurusan KPI FDK UIN Alauddin Makassar)
Lazimnya sebagai mahluk sosial, setiap manusia ingin
mendapatkan perlakuan yang adil, beradab
dan tanpa diskriminasi. Kita tidak ingin diperlakukan secara berbeda untuk dan
atas alasan apapun. Mendapatkan perlakukan yang demikian itu adalah fitrah
manusia, sebagai anugrah indah dari Sang Pencipta.
Begitu pentingnya mendapatkan perlakukan yang sama dan tanpa
diskriminasi, menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diakui komunitas
internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini dicetuskan
Persyarikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1948. Dimana setiap insan, tanpa
kecuali, harus diperlakukan dengan cara yang sama, dan memiliki hak tanpa ada diskriminasi.
Perlakukan yang adil tanpa diskriminasi, harus diberikan
kepada siapa saja yang berhak untuk mendapatkan sesuatu, maupun untuk menduduki
sesuatu. Apalagi kepada mereka yang memiliki kompotensi, keahlian, dedikasi dan
loyalitas yang sama, bahkan setara atau melebihinya, untuk mendapatkan sesuatu
yang dimaksud. Tidak boleh ada diskriminasi atasnya, misal dari aspek ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, opini politik atau lainnya, asal kebangsaan atau kesukuan, ekonomi,
kelahiran, atau status sosial lainnya. Apalagi hanya untuk tujuan politis, terutama yang
rasionalisasinya masih perlu untuk didiskusikan, dan seterusnya.
Pada kesempatan yang sama, sesungguhnya setiap kita pun ingin
selalu memberikan perlakuan yang serupa
kepada orang lain. Dalam diri seseorang, tentunya ada potensi untuk berbuat
adil dan memperlakukan orang lain dengan statusnya yang sama. Sebab akan ada rasa bahagia dan bangga ketika kita dapat
berbuat yang baik kepada sesama.
Ini relevan dengan sikap seseorang dalam kategori Layyin,
sebagaimana pernah disabdakan Rasulullah Saw. Seseorang yang selalu
menginginkan kebaikan antar sesama umat manusia. Dia selalu lembut dan santun
baik dalam berbuat maupun dalam bertutur kata. Memberikan bantuan kepadanya,
menjadikannya bersenang hati dan tidak
membuatnya kecewa.
Berbicara tentang penerimaan perlakuan yang kita terima, ada
kalanya di luar ekspektasi. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah
mengalami ketika seseorang yang dianggap baik, boleh jadi kita menerima
perlakuan yang tidak baik darinya. Atau ketika ada seseorang yang kita pernah bantu atau dipandang
sebagai memiliki persamaan , belum tentu dia akan berbuat yang terbaik kepada
kita. Terdapat berbagai alasan yang
menjadi faktor dominan terhadap hal ini.
Sementara itu, ada kalanya ketika kita merasa bahwa seseorang
itu adalah orang lain, orang yang menurut kita tidak akan ramah, atau orang
yang sama sekali tidak dikenal. Namun justru dialah yang membantu, berbuat baik
ataupun bersikap ramah. Keramahtamahan dan kebaikannya malah lebih daripada
orang yang memiliki persamaan dengan kita, atau orang kita kenal atau bahkan
orang yang pernah kita bantu.
Dalam konteks ini, penulis memiliki satu pengalaman di sebuah
pusat perbelanjaan mewah di Singapura. Kemarin saat berbelanja, kami mendapatkan perlakuan yang berbeda dari
tiga bangsa yang berbeda. Satu dari keturunan Cina, satu dari keturunan India.
Satunya lagi dari keturunan Melayu. Melayu di sini bisa saja dari Indonesia,
Malaysia atau warga asli Singapura. Dari Melayu manakah dia? Biarkanlah kami
sendiri yang tahu.
Pertama dari seorang wanita keturunan Cina, penjaga toko
pakaian. Kami berbelanja di tokonya. Beberapa kali memilih, mengacak-acak, dan
mencoba pakaian. Dia tetap melayani kami dengan sabar dan ramah. Tidak ada sikap
maupun kata-katanya yang kasar atau menyinggung perasaan. Pada prosesnya, kami
jadi membeli pakaian di toko tersebut karena cocok dan harganya pun sesuai.
Kedua, dari seorang perempuan Melayu, pelayan kedai makanan
halal. Kami sengaja mencari gerai yang menjual makanan halal dengan alasan
keyakinan. Pada satu gerai makanan terdapat simbol halal yang dikeluarkan
Majelis Ulama Singapura. Pun dalam gerai itu, terdapat beberapa muslimah yang
sedang makan bersama keluarganya. Saya lihat pemilik kedai makanan ini adalah
orang Cina, tetapi pelayanannya adalah beberapa orang Melayu.
Saat kami pesan makanan terjadi kesalahpahaman. Sebagai
pembeli, tentunya kami akan memilih sesuai selera kami. Entah bagaimana
ceritanya, sang pelayanan, perempuan orang Melayu ini, sedikit marah dan
mengeluarkan kata-kata yang kurang ramah. Meski kejadian hanya sebentar, tetap
saja terasa kurang nyaman.
Dalam benak saya, si pelayan yang orang Melayu ini, tidak
sepantasnya berlaku kasar kepada kami. Bahwa kami sedikit-banyak pertanyaan
atau keinginan, adalah lumrah karena kami adalah pembeli. Pendatang dan baru
pertama kali ke mall ini. Kami datang ke situ untuk makan dan membayar. Dengan
kedatangan kami berbelanja di gerai tersebut, tentunya membawa keuntungan atau
rezeki kepada. Nah, kenapa kami harus diperlakukan agak kasar?
Ketiga, ketika kami berhadapan dengan seorang warga keturunan
India. Perempuan setengah baya yang bertugas sebagai sekuriti di dekat pintu
gerbang. Kepadanya kami bertanya arah stasiun kereta api atau MRT terdekat.
Lalu dia menjelaskan dengan ramah dan bahasa yang sopan. Beberapa kali dia
menjelaskan agar perjalanan kami tidak kesasar. Bahkan dia sempat mengantar
beberapa langkah sambil menunjuk arah yang terdekat.
Wanita India yang ramah ini tentu memiliki nilai lebih. Kami
tidak berbelanja kepadanya. Secara langsung,
tidak memberi keuntungan atau rezeki kepadanya. Tidak membeli produknya.
Meskipun kami tak sama warna kulit, tidak sebangsa, dan tidak memberikan dia
uang, dia tetap memperlakukan kami sebagaimana mestinya.
Dari ketiga kejadian tersebut, dapat dipetik sebuah hikmah
bahwa nilai kebudayaan dan keramahtamahan seseorang itu, tidak selalu muncul
ketika berhadapan dengan sesama. Bahkan perlakukan yang tidak adil dan
cenderung diskriminatif, boleh jadi kita
alami dari orang-orang yang kita anggap dekat, kenal
atau pernah memberikan bantuan kepadanya.
Pengalaman ini tentu menarik bagi saya. Karena terjadi dalam
waktu yang hampir bersamaan. Dari tiga bangsa yang berbeda. Justru perlakuan
yang tidak adil ini, kami dapatkan dari orang-orang yang sebangsa, mungkin pula
seiman. Bukan dari mereka yang berbeda secara ras, agama, maupun status
sosialnya (courtesy of Klikmu).