Sensitivitas Berdakwah dan Ikhtiar Mencegah Kemaksiatan dalam Masyarakat

  • 11:49 WITA
  • Jurusan KPI Bersatu
  • Artikel

Oleh : Haidir Fitra Siagian
Walaupun tidak ikut terlibat melakukannya, seorang Muslim tidak dibenarkan mendukung terjadinya perbuatan maksiat dan sesuatu hal yang diduga berpotensi dapat berbuat kemaksiatan. Maksiat adalah sebuah istilah dalam bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa Arab, yakni "ma'siyah," yang berarti perilaku yang melanggar perintah Allah dan larangan-Nya. Secara umum dapat dikatakan maksiat meliputi berbagai jenis perbuatan dosa dan kesalahan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun niat dalam hati.
Menurut Majlis al-Kauny (dalam Febrianti, 2017), menyatakan bahwa maksiat adalah setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan hukum, agama, adat dan tata krama, dan kesopanan antara lain wanita tuna susila, laki-laki hidung belang, meminum-minuman keras, judi serta perbuatan maksiat lainnya yang belum terjangkau oleh hukum yang berlaku.
Orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan yang baik, pastinya harus tahu dan memahami mana yang tergolong perbuatan maksiat dan mana yang tidak. Perkara manakah yang kemungkinan besar berpotensi melahirkan perbuatan yang tidak terpuji tersebut, dan mana pula yang tidak.
Islam dengan tegas melarang semua bentuk kemaksiatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mendukung kemaksiatan termasuk bentuk keterlibatan tidak langsung yang tetap memiliki konsekuensi. "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka." (QS. Hud: 113).
Berdasarkan ayat ini, dapat ditafsirkan bahwa setiap umat Islam tidak dibenarkan mendukung apa saja terkait dengan perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oleh orang-orang yang zalim. Setiap orang yang beriman memiliki ilmu dan akal yang jernih untuk berpikir dengan hati-nuraninya. Sehingga sesungguhnya dia tahu, yang mana perbuatan baik dan yang mana perbuatan buruk.
Lantas, yang mana bentuk dukungan kemaksiatan yang tidak langsung atau yang bercanda? Salah satunya adalah membiarkan, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu dengan kegiatan tersebut. Contohnya, ketika anda memiliki sebidang tanah. Kemudian seseorang akan membeli tanah tersebut, dan anda tahu bahwa si pembeli sudah mengaku akan membangun lokalisasi pelacuran di situ. Jika tetap menjual kepadanya, maka hal itu termasuk dalam dukungan kepada kemaksiatan, sehingga proses jual beli tersebut termasuk dalam kategori perbuatan yang dilarang. Seorang pemilik pondokan atau penginapan, yang mana penghuni atau pengunjungnya diduga sering berbuat mesum, sementara dia tidak mengambil tindakan apapun, maka orang seperti ini termasuk orang yang mendukung perbuatan maksiat.
Ketika masih di Australia, putraku pernah mengatakan kepada saya. Dia sudah bertekad untuk mundur dari sebuah pekerjaan. Oleh perusahaan tempatnya bekerja, dia ditempatkan di sebuah club yang di dalamnya terdapat penjualan minuman keras dan lain-lain. Meskipun dia tidak ikut menikmati minuman tersebut, dia merasa tidak nyaman dan tidak pantas bekerja di tempat yang menjual benda-benda yang mendukung kemaksiatan. Hatinya tidak mau menerima gaji dari tempat yang di dalamnya terdapat perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Hal ini pun, ada persamaannya tentang ajakan sebagian umat Islam Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya, memboikot produk yang patut diduga bersinggungan dengan Israel, yang memerangi rakyat Palestina. Jika kita sudah tahu bahwa dengan membeli satu produk dimaksud, dimana terdapat hasil atau laba dari penjualannya diberikan kepada Israel, maka sama halnya dengan membiarkan negara tersebut memiliki ketersediaan dana sebagai modal untuk terus-menerus memerangi rakyat Palestina.
Dapat diketahui bahwa tidak semua Muslim menyetujui sikap seperti. Bahkan tidak sedikit pula yang menganggap hal seperti itu adalah sesuatu yang mengada-ada dan berlebihan. Ada yang terang-terangan, ada pula yang berkelit. Terdapat di antara mereka yang memberikan argumentasi dan tindakan yang justru cenderung mendukung perbuatan yang terlarang dimaksud.
Beberapa hari belakangan ini, muncul perdebatan melalui media sosial. Dimana sebuah perusahaan telah membangun tempat hiburan malam di Makassar. Lokasinya tidak jauh dari sebuah masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam dengan julukan Kota Serambi Madinah ini. Sebagai tempat hiburan malam, tidak dapat dipungkiri pada saat tertentu akan berpotensi menggiring orang lain melakukan perbuatan maksiat, baik di dalamnya maupun setelahnya.
Sejumlah tokoh agama dan ulama, telah menyatakan keberatan. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan dengan tegas mengatakan menolak keberadaan tempat tersebut. MUI juga mengatakan bahwa memasuki tempat tersebut sebagai perbuatan yang haram. Memanglah secara resmi, MUI tidak memiliki otoritas eksekutif atau legislatif dalam sistem hukum Indonesia. Namun, pengaruhnya sangat signifikan dalam kehidupan beragama dan sosial, karena banyak umat Islam di Indonesia menghormati dan mengikuti fatwa serta sertifikasi yang dikeluarkan MUI.
Peran MUI sering kali menjadi jembatan antara hukum negara dan hukum Islam, memberikan kontribusi yang berharga dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai lembaga keagamaan resmi, pandangan atau nasihat dari MUI mestilah didengar dan dilaksanakan. Karena ini juga bagian dari perintah agama untuk mengikuti apa yang dikatakan oleh para pewaris Nabi.
Lebih dari itu, sadar atau tidak, terdapat pula umat Islam yang cenderung mendukung tempat hiburan malam ini. Boleh jadi dia tidak bermaksud demikian, namun narasi yang dia sampaikan, justru menguntungkan pihak atau pemilik tempat maksiat tersebut. Bahkan dengan berbagai argumentasi yang seolah-olah ilmiah.
Di antaranya adalah ; kenapa baru sekarang ribut, toh sudah banyak tempat maksiat di kota ini. Yang maksiat itu adalah otak bukan tempat, karena di masjid juga orang bisa berbuat maksiat. Di Arab Saudi sekarang sudah banyak didirikan tempat hiburan malam dan pantai yang membolehkan berpakaian bikini. Belum tentu di tempat hiburan malam itu ada maksiat. Apakah berdansa itu berdosa? Masa minum air miniral di diskotik berdosa? Ada juga yang mengirim karangan bunga sebagai bentuk ucapan selamat.
Pun diketahui adanya pandangan yang mengatakan bahwa syukur bertambah tempat hiburan malam, berarti bertambah pula ladang garapan para muballigh untuk berdakwah. Bahkan terdapat di antara umat Islam yang mencela tindakan ulama yang ingin bertemu pejabat pemerintah guna melobi supaya membatalkan izin tempat dimaksud.
Tentunya narasi-narasi tersebut lahir dari pihak-pihak yang tidak atau kurang respek terhadap dakwah. Kurang memiliki sikap menghargai dan menghormati orang lain, dalam konteks amar makruf nahi mungkar dalam Islam. Mereka-mereka yang boleh jadi tidak menghargai pandangan, nasihat, atau fatwa yang diberikan oleh ulama. Bahkan termasuk dalam kategori meremehkan atau mengabaikan peran dan kontribusi ulama dalam menyebarkan pengetahuan agama dan membimbing masyarakat.
Kepada umat Islam, jangan lupa bahwa ada hadist Nabi yang artinya : "Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." (HR. Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa orang yang mengajak atau mendukung perbuatan dosa akan mendapatkan dosa yang sama dengan orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Dalam hadits lain dikatakan bahwa : "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan kewajiban bagi setiap muslim untuk mencegah kemungkaran sesuai dengan kemampuannya, yang secara implisit juga berarti tidak boleh mendukung atau membiarkan kemaksiatan terjadi. Akhirnya jangan lupa bahwa tangan, kaki, mulut dan mata hati, suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan-Nya. Wallahu’alam.***
Samata Gowa, 31 Mei 2024
Penulis adalah alumni Jurusan Komunikasi Fisip Universitas Hasanuddin / Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.