Hukum Media Massa sebagai Kontrol Sosial

  • 02:18 WITA
  • Jurusan KPI Bersatu
  • Artikel

Oleh : Subhan Yusuf

Media massa adalah media yang digunakan untuk menyalurkan komunikasi kepada masyarakat seperti pers, radio, televisi, film dan sebagainya. Sebagai sarana komunikasi untuk penyebaran informasi dan gagasan kepada publik, media massa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia di berbagai bidang seperti bidang politik, ekonomi, budaya sosial dan sebagainya. Melalui media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan budaya masyarakat dimana media tersebut hadir.

Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa. Dennis Mc Quail (2000) menyebutkan bahwa media merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita. Pembahasan mengenai media massa selalu dikaitkan dengan pers. Media massa merupakan bagian dari pers itu sendiri. Adanya media massa dalam kehidupan manusia tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang dibutuhkan oleh manusia.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dikemukakan fungsi pers nasional (di mana media massa menjadi bagian di dalamnya) yaitu sebagai media informasi, sebagai media pendidikan, sebagai media hiburan, sebagai media kontrol sosial dan sebagai lembaga ekonomi. Bila dilihat dari posisinya sebagai lembaga sosial, media massa berinteraksi dengan lembaga sosial yang lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga yang lainnya.

Sejarah hukum media massa di Indonesia menunjukkan adanya pasang surut peran media massa. Meskipun terdapat pasang surut, namun secara umum pengekangan lebih menonjol daripada kebebasannya. Isi atau materi hukum media yang pernah berlaku di Indonesia bisa dibedakan dalam beberapa materi seperti sensor preventif, kewenangan penguasa untuk menutup dan membredel sebuah media, kewenangan penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut izin serta jaminan kebebasan pers atau kebebasan media.

Pada masa Orde Baru, sensor represif dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 yang menggambarkan pergeseran sistem politik Orde Baru yang demokratis ke sistem otoriter. UU No 21/1982 mengekang media massa dengan diharuskannya setiap penerbitan pers mempunyai SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) menggantikan SIT. Pers selama Orde Baru mengambil posisi sebagai slave, budak pemerintah.

Awal pemerintahan Orde Baru, pers mengalami masa kebebasan dengan dikeluarkannya TAP MPRS RI No XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers, yang memberi pengakuan kebebasan hak setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui pers. Tap MPRS ini menjadi dasar perumusan UU No 11/1966 yang menyatakan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakan kebenaran dan keadilan, bukan kebebasan dalam arti liberalisme. Akan tetapi akibat peristiwa Malari, sistem politik Orde Baru bergeser ke sistem otoriter yang berimbas juga pada hukum media massa.

Perubahan gambaran politik pada tahun 1998 tercermin dalam TAP MPR RI No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia mengatur jaminan dan perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa. Penyebab terjadinya perubahan gambaran politik terkait dengan krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang berdampak serius dalam segala aspek kehidupan masyarakat di tanah air. Runtuhnya pemerintahan Rezim Soeharto dan digantikan dengan pemerintahan B.J. Habibie membawa dampak positif di dalam perkembangan hukum media massa di Indonesia.

Peran pers pasca reformasi 1998 makin kuat sebagai agen perubahan dan kontrol sosial serta sebagai kekuatan keempat dalam demokrasi. Euforia kebebasan berpendapat dan berorganisasi ditanggapi dengan banyak diterbitkannya suratkabar atau media serta didirikannya partai-partai politik. Terbitnya Undang-Undang Pers pada tanggal 23 September 1999 dirasakan membawa dampak positif bagi perusahaan pers karena diatur penghapusan penyensoran, pelarangan penyiaran, dan masalah pembredelan.

Fenomena pertumbuhan industri media dalam era reformasi di Indonesia dapat diidentifikasi dalam tiga pemikiran: pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis; kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka; ketiga, memunculkan kelompok-kelompok usaha penerbitan pers. Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers.

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan dalam media dan interaksi antara media berita dan pembaca. Citizen journalism memungkinkan setiap orang untuk menjadi penulis berita dan terlibat dalam proses pembuatan berita. Internet memberikan tawaran yang lebih dari teknologi cetak jarak jauh dan satelit, menciptakan online journalism.

Undang-undang Pers sebagai regulasi utama bidang media berita tercabar relevansinya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Definisi pers dalam UU Pers meliputi segala hal yang mencakup kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Namun definisi wartawan sebagai orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik dapat dipertanyakan relevansinya karena teknologi informasi memungkinkan setiap orang untuk melakukan kerja sebagaimana didefiniskan sebagai kerja wartawan sekaligus menjalankan bisnis media.

Fenomena seperti blog telah dipraktikkan secara masif dan menjadikannya sebagai wahana komunikasi massa serta media berita (news media). Blog pula menjalankan fungsi seperti yang diemban media tradisional pada umumnya yakni mencari dan menyampaikan informasi. Bahkan apa yang ditulis dan disampaikan melalui blog lebih lengkap daripada media tradisional, apa yang disebut sebagai partcipatory journalism. Dalam beberapa hal, blog pula adalah journalism.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar