Tiga Bangsa Tiga Perilaku Berbeda

  • 04:51 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Tiga Bangsa Tiga Perilaku yang Berbeda

 Oleh : Haidir Fitra Siagian (Sekretaris Jurusan KPI FDK UIN Alauddin Makassar)


Lazimnya sebagai mahluk sosial, setiap manusia ingin mendapatkan perlakuan yang adil,  beradab dan tanpa diskriminasi. Kita tidak ingin diperlakukan secara berbeda untuk dan atas alasan apapun. Mendapatkan perlakukan yang demikian itu adalah fitrah manusia, sebagai anugrah indah dari Sang Pencipta.

 

Begitu pentingnya mendapatkan perlakukan yang sama dan tanpa diskriminasi, menjadi bagian dari hak asasi manusia yang diakui komunitas internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini dicetuskan Persyarikatan Bangsa-Bangsa sejak tahun 1948. Dimana setiap insan, tanpa kecuali, harus diperlakukan dengan cara yang sama, dan memiliki  hak tanpa ada diskriminasi.

 

Perlakukan yang adil tanpa diskriminasi, harus diberikan kepada siapa saja yang berhak untuk mendapatkan sesuatu, maupun untuk menduduki sesuatu. Apalagi kepada mereka yang memiliki kompotensi, keahlian, dedikasi dan loyalitas yang sama, bahkan setara atau melebihinya, untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksud. Tidak boleh ada diskriminasi atasnya, misal dari  aspek ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal kebangsaan atau kesukuan, ekonomi, kelahiran, atau status sosial lainnya. Apalagi hanya  untuk tujuan politis, terutama yang rasionalisasinya masih perlu untuk didiskusikan, dan seterusnya. 

 

Pada kesempatan yang sama, sesungguhnya setiap kita pun ingin selalu memberikan perlakuan  yang serupa kepada orang lain. Dalam diri seseorang, tentunya ada potensi untuk berbuat adil dan memperlakukan orang lain dengan statusnya yang sama. Sebab akan ada  rasa bahagia dan bangga ketika kita dapat berbuat yang baik kepada sesama.

 

Ini relevan dengan sikap seseorang dalam kategori Layyin, sebagaimana pernah disabdakan Rasulullah Saw. Seseorang yang selalu menginginkan kebaikan antar sesama umat manusia. Dia selalu lembut dan santun baik dalam berbuat maupun dalam bertutur kata. Memberikan bantuan kepadanya, menjadikannya bersenang hati dan  tidak membuatnya kecewa.

 

Berbicara tentang penerimaan perlakuan yang kita terima, ada kalanya di luar ekspektasi. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita pernah mengalami ketika seseorang yang dianggap baik, boleh jadi kita menerima perlakuan yang tidak baik darinya. Atau ketika ada  seseorang yang kita pernah bantu atau dipandang sebagai memiliki persamaan , belum tentu dia akan berbuat yang terbaik kepada kita.  Terdapat berbagai alasan yang menjadi faktor dominan terhadap hal ini.

 

Sementara itu, ada kalanya ketika kita merasa bahwa seseorang itu adalah orang lain, orang yang menurut kita tidak akan ramah, atau orang yang sama sekali tidak dikenal. Namun justru dialah yang membantu, berbuat baik ataupun bersikap ramah. Keramahtamahan dan kebaikannya malah lebih daripada orang yang memiliki persamaan dengan kita, atau orang kita kenal atau bahkan orang yang pernah kita bantu.

 

Dalam konteks ini, penulis memiliki satu pengalaman di sebuah pusat perbelanjaan mewah di Singapura. Kemarin saat berbelanja,  kami mendapatkan perlakuan yang berbeda dari tiga bangsa yang berbeda. Satu dari keturunan Cina, satu dari keturunan India. Satunya lagi dari keturunan Melayu. Melayu di sini bisa saja dari Indonesia, Malaysia atau warga asli Singapura. Dari Melayu manakah dia? Biarkanlah kami sendiri yang tahu.

 

Pertama dari seorang wanita keturunan Cina, penjaga toko pakaian. Kami berbelanja di tokonya. Beberapa kali memilih, mengacak-acak, dan mencoba pakaian. Dia tetap melayani kami dengan sabar dan ramah. Tidak ada sikap maupun kata-katanya yang kasar atau menyinggung perasaan. Pada prosesnya, kami jadi membeli pakaian di toko tersebut karena cocok dan harganya pun sesuai.

 

Kedua, dari seorang perempuan Melayu, pelayan kedai makanan halal. Kami sengaja mencari gerai yang menjual makanan halal dengan alasan keyakinan. Pada satu gerai makanan terdapat simbol halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Singapura. Pun dalam gerai itu, terdapat beberapa muslimah yang sedang makan bersama keluarganya. Saya lihat pemilik kedai makanan ini adalah orang Cina, tetapi pelayanannya adalah beberapa orang Melayu.

 

Saat kami pesan makanan terjadi kesalahpahaman. Sebagai pembeli, tentunya kami akan memilih sesuai selera kami. Entah bagaimana ceritanya, sang pelayanan, perempuan orang Melayu ini, sedikit marah dan mengeluarkan kata-kata yang kurang ramah. Meski kejadian hanya sebentar, tetap saja terasa kurang nyaman.

 

Dalam benak saya, si pelayan yang orang Melayu ini, tidak sepantasnya berlaku kasar kepada kami. Bahwa kami sedikit-banyak pertanyaan atau keinginan, adalah lumrah karena kami adalah pembeli. Pendatang dan baru pertama kali ke mall ini. Kami datang ke situ untuk makan dan membayar. Dengan kedatangan kami berbelanja di gerai tersebut, tentunya membawa keuntungan atau rezeki kepada. Nah, kenapa kami harus diperlakukan agak kasar?

 

Ketiga, ketika kami berhadapan dengan seorang warga keturunan India. Perempuan setengah baya yang bertugas sebagai sekuriti di dekat pintu gerbang. Kepadanya kami bertanya arah stasiun kereta api atau MRT terdekat. Lalu dia menjelaskan dengan ramah dan bahasa yang sopan. Beberapa kali dia menjelaskan agar perjalanan kami tidak kesasar. Bahkan dia sempat mengantar beberapa langkah sambil menunjuk arah yang terdekat.

 

Wanita India yang ramah ini tentu memiliki nilai lebih. Kami tidak berbelanja kepadanya. Secara langsung,  tidak memberi keuntungan atau rezeki kepadanya. Tidak membeli produknya. Meskipun kami tak sama warna kulit, tidak sebangsa, dan tidak memberikan dia uang, dia tetap memperlakukan kami sebagaimana mestinya.

 

Dari ketiga kejadian tersebut, dapat dipetik sebuah hikmah bahwa nilai kebudayaan dan keramahtamahan seseorang itu, tidak selalu muncul ketika berhadapan dengan sesama. Bahkan perlakukan yang tidak adil dan cenderung diskriminatif,  boleh jadi kita alami   dari orang-orang yang kita anggap dekat, kenal atau pernah memberikan bantuan kepadanya.

 

Pengalaman ini tentu menarik bagi saya. Karena terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari tiga bangsa yang berbeda. Justru perlakuan yang tidak adil ini, kami dapatkan dari orang-orang yang sebangsa, mungkin pula seiman. Bukan dari mereka yang berbeda secara ras, agama, maupun status sosialnya (courtesy of Klikmu).