Kebahagiaan Beragama sebagai Orang Beriman yang Tidak Terhitung Nilainya

  • 07:24 WITA
  • Jurusan KPI Bersatu
  • Artikel

Oleh : Haidir Fitra Siagian

 

Hampir dalam setiap majelis ilmu, khutbah Jum’at maupun saat menyampaikan ceramah keagamaan, para muballigh atau dai, selalu mengingatkan umat Islam atau khalayak betapa penting mensyukuri berbagai nikmat-Nya. Di antara nikmat yang harus disyukuri adalah nikmat kesehatan, nikmat kesempatan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah nikmat iman dan nikmat Islam. 

Kita bersyukur karena sehat. Dengan kesehatan, dapat menghadiri majelis Ilmu. Tanpa kesehatan, sulit untuk menghadirinya. Kita bersyukur karena memiliki waktu atau kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas keagamaan. Ada orang yang sehat, tetapi tidak sempat atau tidak punya waktu. Banyak urusan yang harus dikerjakan, sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menghadiri kegiatan-kegiatan mulia tersebut.   

Kemudian adalah mensyukuri nikmat iman dan nikmat Islam. Kita bersyukur karena memiliki iman dan masuk ke dalam Islam. Dengan kedua nikmat ini, seseorang diberikan hidayah untuk memasuki majelis ilmu karena  memiliki keikhlasan. Mereka yang datang hanya untuk mendapatkan redha Allah Swt. Tujuannya tak lain adalah ikhtiar untuk meningkatkan kulitas iman dan taqwanya kepada Sang Khalik. 

Dalam Al Qur’an surat Al-Hujurat ayat 7, Allah Swt. berfirman yang artinya : "Dan ketahuilah bahwa di antara kalian ada Rasul Allah. Kalau dia menuruti (kemauan) kalian dalam beberapa urusan, kalian pasti akan mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus." 

Yunahar Ilyas (2013) mengatakan bahwa dengan iman manusia dapat mengalahkan keinginan nafsunya dan bersedia diatur dan dibimbing sepenuhnya oleh Rasulullah. Dengan iman pula manusia membenci segala macam bentuk kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dalam konteks inilah iman merupakan karunia dan nikmat yang tidak ternilai bagi umat manusia. 

Dapat dikatakan bahwa iman dalam Islam merupakan konsep yang sangat fundamental dan mendalam dalam kehidupan kaum Muslimin. Bahkan Sayyid Quthub dalam Fi Zilalil Qur’an (VI:3342), mengatakan nikmat iman lebih besar dari nikmat hidup itu sendiri. Iman merujuk pada keyakinan yang teguh dan kepercayaan kepada Allah dan ajaran-ajaran-Nya. 

Sebagaimana dikatakan Yunahar Ilyas tadi, dengan iman pula manusia membenci perbutan-perbuatan yang tidak terpuji. Di antaranya adalah segala macam bentuk kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Menurut Majlis al-Kauny (dalam Febrianti, 2017), maksiat adalah setiap perbuatan yang menyimpang dari ketentuan hukum, agama, adat dan tata krama, dan kesopanan antara lain wanita tuna susila, laki-laki hidung belang, meminum-minuman keras, judi serta perbuatan maksiat lainnya yang belum terjangkau oleh hukum yang berlaku. 

Hakikat orang yang beriman dalam kaitannya dengan kemaksiatan adalah bahwa iman yang kuat bisa mencegah seseorang dari melakukan dosa. Tidak ada manusia yang tidak pernah berbuat dosa. Namun seorang yang beriman akan selalu berupaya bertaubat, mampu mengendalikan hawa nafsu, juga memiki ghirah yang tinggi untuk menjaga konsistensi dalam ibadah. 

Dia juga akan selalu menjaga dirinya agar senantiasa berada di lingkungan yang baik maupun atmosfir yang kondusif. Menghindari mendatangi tempat-tempat maksiat maupun lokasi yang patut diduga sebagai tempat perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Mereka-mereka yang seperti inilah yang memperoleh nikmat beragama, karena mereka  memeroleh kenikmatan dan berkah yang diberikan oleh Allah Swt., untuk menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.   

Dengan perkataan lain bahwa orang yang beriman tidak akan toleran sedikitpun kepada kemaksiatan. Jangankan untuk bermain maksiat atau sekedar minum air mineral dan mendatangi tempat-tempat yang patut diduga sebagai tempat maksiat, lewat saja dia tidak mau. Apalagi mendukung berdirinya tempat-tempat yang keji tersebut, baik secara terang-terangan maupun dengan berapologi sebagai sekedar bercanda. 

Tentang usaha menghindari tempat-tempat yang kurang pantas ini, ada satu pengalaman penulis ketika masih di Australia beberapa waktu lalu. Suatu ketika ada seorang Muslimah yang mendatangi café di pinggiran Kota Sydney pada sekitar pukul sepuluh malam. Singkat cerita, si perempuan yang berbusana Muslimah lengkap ini, diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Pelaku ditangkap dan diadili. Dan seterusnya. 

Warga Muslim di Australia protes keras atas kejadian ini, termasuk The Australian National Imams Council (ANIC), semacam Majelis Ulamanya. Tapi seorang mufti atau pemimpin agama Islam di Wollongong memberi tanggapan berbeda. Mengapa seorang wanita Muslimah berada di café pada jam sepuluh malam seorang diri? Minum kopi? Ingin bertemu teman? Mau refresing? Apakah tidak ada tempat yang lebih layak, lebih terhormat, lebih aman baginya? Tentu hanya Muslimah tersebut yang bisa menjawabnya. 

Maka berbahagialah teman-teman yang telah merasakan nikmatnya beragama. Di antaranya adalah umat Islam yang dijauhkan dari godaan untuk mendukung beroperasinya tempat-tempak maksiat. Termasuk pula tidak memberi izin, melindungi atau pasang badan serta mengambil keuntungan darinya. Bersyukurlah karena termasuk orang yang masih dijaga hatinya oleh Allah Yang Maha Kuasa. Hati yang tiada setetespun celah yang secara sadar untuk melakukan pun mendukung perbuatan-perbuatan yang tidak diredhai-Nya tersebut. 

Dalam satu minggu terakhir ini, ramai sekali pembicaraan tentang tempat hiburan malam yang patut diduga berpotensi sebagai tempat maksiat, beroperasi di Makassar. Kita bersyukur karena sudah ditutup oleh pihak-pihak yang berkenaan. Pun kita boleh menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kota Makassar dan pihak Kepolisian Republik Indonesia, karena memberikan respon positif atas tuntutan umat Islam terkait persoalan tersebut. Selamat Hari Kesaktian Pancasila. Wallahu’alam.

 

Samata Gowa, 01 Juni 2024

 

Penulis adalah alumnus Jurusan Komunikasi Fisip Universitas Hasanuddin / Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.


Catatan : Artikel ini sudah tayang di Majalah Suara Muhammadiyah dan foto diambil dari SM.