Belajar Bertoleransi dari Pengalaman Puasa Ramadan di Keluarga Multialiran

  • 22 Maret 2024
  • 10:52 WITA
  • Administrator
  • Berita

Gowa (KPI) - Pada saat itu, saya masih menempuh pendidikan di Pondok Pesantren DDI Baburridha Sawere, yang merupakan naungan dari Nahdatul Ulama. Sementara itu, bapak saya adalah pengurus masjid yang sering adzan, dan masjid itu di naungi oleh Aliran Muhammadiyah. Ketika memasuki bulan suci Ramadan, seperti yang kita ketahui bahwa Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama memiliki perbedaan dalam menentukan awal Ramadan dan Hari Raya, dimana Muhammadiyah melakukan puasa 1 hari lebih cepat daripada Nahdatul Ulama. Ketika itu, saya sempat beradu argumen dengan bapak saya terkait perbedaan pendapat tersebut. Namun, kami membicarakannya dengan baik.

       Singkat cerita, ketika hari itu tiba, dalam satu keluarga kecil ini terdapat dua aliran dengan orang tua dan anak. Pada saat sahur pertama, hanya bapak dan ibu saya yang bangun. Kemudian, saya dan kakak saya bangun sahur pertama pada hari esoknya.

       Selain itu, perbedaan pendapat dalam perayaan Idul Fitri juga terjadi. Pada malam itu, suara takbir bergema dari  masjid yang di  naungi oleh aliran Muhammadiyah, bapak saya dengan tulus hati meminta kepada saya untuk merayakan Idul Fitri bersama mereka pada hari esoknya. Namun, sebagai orang yang meyakini aliran Nahdatul Ulama, saya dengan penuh hormat menolak untuk tidak ikut merayakan Idul Fitri bersama bapak dan ibu saya. Saya menyadari bahwa jika saya ikut merayakan Idul Fitri pada hari itu juga, puasa saya tidak akan cukup, maka saya menolak dengan baik untuk tidak ikut merayakan Idul Fitri bersama mereka. Ini bukanlah sekadar perbedaan pandangan, tetapi juga soal ketaatan agama yang sangat dalam. Sehingga, saya dan kakak saya merayakan Idul Fitri pada hari berikutnya bersama kakek dan nenek dari keluarga bapak saya.

       Puasa Ramadan pada tahun tersebut benar-benar berbeda bagi saya, terutama saat merayakan Idul Fitri, karena untuk pertama kalinya kami sekeluarga tidak merayakannya bersama-sama. Ini adalah ujian nyata tentang kedewasaan spiritual dan emosional, di mana saya belajar bahwa perselisihan pendapat tidak selalu harus berujung kepada konflik.

       Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia akan mengalami perbedaan pendapat. Namun, kita harus saling bertoleransi terkait perbedaan tersebut. Kita tidak bisa menyalahkan keyakinan orang lain dan menganggap bahwa keyakinan kita yang paling benar. Karena pada dasarnya, kita tidak tahu aliran mana yang benar. Yang penting, dua aliran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadi hamba Allah yang taat dan mendapatkan ridha-Nya, hanya saja dengan cara yang berbeda.

Sebagai umat Rasulullah, bukan saatnya untuk beradu argumen terkait aliran mana yang benar. Perbedaan pendapat bukanlah penghalang bagi kita untuk menjalankan puasa Ramadan.

      Saya bersyukur atas pengalaman ini karena saya belajar banyak tentang bagaimana menghadapi perbedaan pendapat dengan bijak. Semoga cerita ini tidak hanya menjadi sekumpulan teks yang tak bermakna, dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk menjadi manusia yang mampu mengamalkan apa yang telah kita ketahui.

     Terima kasih kepada teman-teman yang telah membaca cerita ini hingga akhir. Semoga bermanfaat bagi saya dan kita semua. Assalamu’alaikum wr.wb. (Nurfadillah)