Gowa (KPI) - Pada saat
itu, saya masih menempuh pendidikan di Pondok Pesantren DDI Baburridha Sawere,
yang merupakan naungan dari Nahdatul Ulama. Sementara itu, bapak saya adalah
pengurus masjid yang sering adzan, dan masjid itu di naungi oleh Aliran
Muhammadiyah. Ketika memasuki bulan suci Ramadan, seperti yang kita ketahui
bahwa Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama memiliki perbedaan dalam menentukan awal
Ramadan dan Hari Raya, dimana Muhammadiyah melakukan puasa 1 hari lebih cepat
daripada Nahdatul Ulama. Ketika itu, saya sempat beradu argumen dengan bapak
saya terkait perbedaan pendapat tersebut. Namun, kami membicarakannya dengan
baik.
Singkat
cerita, ketika hari itu tiba, dalam satu keluarga kecil ini terdapat dua aliran
dengan orang tua dan anak. Pada saat sahur pertama, hanya bapak dan ibu saya
yang bangun. Kemudian, saya dan kakak saya bangun sahur pertama pada hari
esoknya.
Selain
itu, perbedaan pendapat dalam perayaan Idul Fitri juga terjadi. Pada malam itu,
suara takbir bergema dari masjid yang
di naungi oleh aliran Muhammadiyah,
bapak saya dengan tulus hati meminta kepada saya untuk merayakan Idul Fitri
bersama mereka pada hari esoknya. Namun, sebagai orang yang meyakini aliran
Nahdatul Ulama, saya dengan penuh hormat menolak untuk tidak ikut merayakan
Idul Fitri bersama bapak dan ibu saya. Saya menyadari bahwa jika saya ikut
merayakan Idul Fitri pada hari itu juga, puasa saya tidak akan cukup, maka saya
menolak dengan baik untuk tidak ikut merayakan Idul Fitri bersama mereka. Ini
bukanlah sekadar perbedaan pandangan, tetapi juga soal ketaatan agama yang
sangat dalam. Sehingga, saya dan kakak saya merayakan Idul Fitri pada hari
berikutnya bersama kakek dan nenek dari keluarga bapak saya.
Puasa
Ramadan pada tahun tersebut benar-benar berbeda bagi saya, terutama saat
merayakan Idul Fitri, karena untuk pertama kalinya kami sekeluarga tidak
merayakannya bersama-sama. Ini adalah ujian nyata tentang kedewasaan spiritual
dan emosional, di mana saya belajar bahwa perselisihan pendapat tidak selalu
harus berujung kepada konflik.
Dari
cerita ini, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia akan mengalami perbedaan
pendapat. Namun, kita harus saling bertoleransi terkait perbedaan tersebut.
Kita tidak bisa menyalahkan keyakinan orang lain dan menganggap bahwa keyakinan
kita yang paling benar. Karena pada dasarnya, kita tidak tahu aliran mana yang
benar. Yang penting, dua aliran ini memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadi
hamba Allah yang taat dan mendapatkan ridha-Nya, hanya saja dengan cara yang
berbeda.
Sebagai umat Rasulullah, bukan saatnya untuk beradu
argumen terkait aliran mana yang benar. Perbedaan pendapat bukanlah penghalang
bagi kita untuk menjalankan puasa Ramadan.
Saya
bersyukur atas pengalaman ini karena saya belajar banyak tentang bagaimana
menghadapi perbedaan pendapat dengan bijak. Semoga cerita ini tidak hanya
menjadi sekumpulan teks yang tak bermakna, dan menjadi motivasi bagi kita semua
untuk menjadi manusia yang mampu mengamalkan apa yang telah kita ketahui.
Terima
kasih kepada teman-teman yang telah membaca cerita ini hingga akhir. Semoga
bermanfaat bagi saya dan kita semua. Assalamu’alaikum wr.wb. (Nurfadillah)