(Karya: Alisa Adeliana Sari)
Ibu, andai kau tau apa yang aku inginkan. Sedikitpun aku tak ingin lahir seperti ini. bukankah semua ini takdir dari Sang Ilahi Rabbi. Ibu, betapapun kau jauh dariku, betapapun kau menyakitiku, dan betapapun kau membenciku kau tetap ibuku yang melahirkanku ke dunia, yang memberiku segenap kehidupan. Ibu, aku sungguh menyanyangimu dan aku ingin sekali saja kau mendekapku penuh kasih sayang dan cinta seperti engkau medekap adikku.
Mungkin itulah yang sesungguhnya akan dikatakan sang anak pada ibunya yang selama ini tak sedikitpun mampu menerima keadaannya. Dia Shakyr anak berusia 15 tahun, meski baru berusia 15 tahun namun tak sedikitpun hal yang telah dialaminya dalam hidup. Shakyr selama ini tinggal bersama kedua orang tuanya. Dia merupakan anak ke 2 dari 3 bersaudara. Kakaknya yang perempuan telah berusia17 tahun dan adik kembarnya kini telah bersekolah di sebuah SMP Negeri. Shakyr terlahir kembar, adiknya bernama Rayan. Tepat sebulan setelah dilahirkan, Shakyr diangkat oleh orang tua asuh sehingga harus terpisah dari orang tuanya dan juga adik kembarnya. Sesuatu yang tak seorang anakpun menginginkannya. Kondisi kedua orang tuanya yang tak mampu, membuatnya harus terpisah dari keluarganya. Namun mengapa harus dia yang terpisah? Entahlah, itu semua mungkin sudah takdir.
Setelah setahun Shakyr berpisah dengan kedua orang tuanya, dia di besarkan oleh orang tua asuhnya yang tidak lain masih tantenya. Shakyr yang tumbuh aktif membuat orang tua asuhnya merasa bahagia karena keluarga mereka memang mendambakan seorang anak laki-laki. Namun sebuah kecelakan terjadi, tepat setahun lebih dua bulan Shakyr terjatuh dari tangga rumah ketika bermain dengan ibunya. Saat itulah semua penderitaan yang dialaminya dimulai. Dokter memvonis Shakyr terkena geger otak, sehingga pertumbuhan sarafnya terganggu dan membuat dia akan lebih bertindak hiperaktif namun lamban dalam merespon suara ataupun tanggapan dari orang lain. Mendengar berita tersebut orang tua asuh Shakyr merasa sangat sedih dan bersalah atas kejadian ini begitu pula orang tua kandung Shakyr. Mereka merasa amat bersalah karena tidak dapat membesarkan Shakyr sebagaimana mestinya. Namun nasi yang telah menjadi bubur, tak mungkin lagi dimasak, begitu pula dengan Shakyr. Keadaannya yang cacat tak memungkinkan dia dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak lain.
Sepuluh tahun kemudian Shakyr yang masih tak dapat bersekolah karena kondisinya yang tidak memungkinkan masih tetap melakukan terapi untuk perkembangan otak dan sarafnya. Meski perkembangan yang terjadi dari terapinya cukup baik, namun tumbuh kembangnya dalam merespon sesuatu masih tetap lamban. Sebulan sebelum usianya menginjak 12 tahun kedua orang tua asuh Shakyr meninggal dalam sebuah kecelakaan. Beruntung Shakyr tidak menjadi korban di dalamnya. Shakyr yang tidak mungkin hidup sebatang kara akhirnya harus kembali hidup bersama dengan kedua orang tua kandungnya. Sayang semua tak sebahagia yang seharusnya terjadi. Orang tua kandung Shakyr ternyata tak menyukai keberadaannya di rumah. Dia dianggap anak cacat yang hanya mempermalukan keluarga tersebut. Pernah suatu ketika Shakyr dengan tidak sengaja menjatuhkan sebuah gelas milik ayahnya bukan dia yang dikhawatirkan, melainkan gelasnya. Gelas tersebut yang justru di benahi, Shakyr pun di hukum tidur di kamar mandi. Sang ibu bahkan dengan tega mengatakan “lebih baik Shakyr mati daripada mempermalukan dan menyusahkan kita”. Betapa kejam dan jahatnya keluarganya kepada dia. Memang kehidupan kedua orang tua kandungnya yang sudah cukup membaik, ternyata bukan membuat keadaan Shakyr juga membaik, melainkan membuat keadaannya semakin buruk. Orang tua kandung Shakyr tak pernah sedikitpun merawatnya sebagai anak. Shakyr tak pernah lagi mengikuti terapi seperti dulu. Bajunya dibiarkan kotor dari dan tak terawat, bahkan untuk urusan makan orang tuanya hanya memberinya dua kali dalam satu hari. Orang tua kandungnya pun tak pernah mengajak Shakyr berpergian keluar rumah, jika keluarganya ingin pergi keluar rumah justru Shakyr dibiarkan terkunci di kamar dengan kaki terikat sehingga dia tidak merusak barang-barang di rumah tersebut. Betapa kejam keluarga tersebut memperlakukan Shakyr. Beruntung adik kembarnya Rayan, masih memperhatikannya hanya dia satu-satunya orang dikeluarga tersebut yang masih menyayangi dan memperhatikan Shakyr layaknya manusia.
Setahun berlalu, keluarga Shakyr tetap tidak mampu menerima dia sebagai keluarganya, tepatnya sebagai anak dari keluarga tersebut. Hingga suatu ketika Shakyr yang menderita deman tinggi dibiarkan saja dengan tangan dan kaki terikat dan tidur digudang rumah mereka. Beruntung adik kembarnya memeriksa keadaan Shakyr. Segera Shakyr dibawa ke rumah sakit terdekat. Selama perjalanan, sang ibu hanya menggendongnya tanpa rasa khawatir sedikitpun. Sang adik kembarnya Rayan memegang erat tangan Shakyr yang begitu hangat. Sesampainya dirumah sakit, dokter memvonis bahwa akibat dari geger otaknya dulu kini berkembang menjadi kanker otak dan mungkin waktunya tak banyak lagi. Kedua orang tuanya pun kemudian menangisi keadaan Shakyr yang terlanjur memburuk.
Rayan yang selalu mendampinginya dengan sabar, seolah merasakan apa yang benar-benar dialami Shakyr selama ini, jika saja usianya sudah dewasa pasti dia mampu berbuat lebih. Satu jam setelah Shakyr dirawat, akhirnya Tuhan memanggilnya untuk kembali. Tepat sebulan Shakyr pergi, sebuah kalimat terucap darinya ”ibu, aku sayang ibu” sebuah kalimat pendek yang tak pernah terucap darinya. Yah, kondisinya yang cacat membuatnya tak mampu berkata-kata atau bahkan mengerti apa yang orang suruhkan kepadanya. Kedua orang tua Shakyr kini hanya mampu terdiam dalam duka dan menyesali mengapa mereka tak pernah merawatnya dengan baik. Segala penyesalan memang selalu datang belakangan.
"Tuhan menciptakan segala keadaan bagi umatnya untuk menguji, apakah umatnya tetap mensyukuri segala yang dia berikan? Bukankah mereka dapat hidup dari kekuasaan Tuhan juga? Maka bersyukurlah untuk segalanya. Segala yang telah Tuhan berikan kepada kita, karena Tuhan tau mana yang terbaik untuk kita."
nb: Penulis merupakan anggota I-Brand dari bidang writing angkatan VII