Darmawati

  • 18 Maret 2017
  • 12:00 WITA
  • Jurusan KPI Bersatu
  • Berita

Aku tahu kalimat pertama dalam penulisan sebuah karya fiksi harus menyihir nan mujarab. Orang-orang akan terbius dengan pembukaan yang indah, terhasut oleh kata-kata ampuh sehingga mereka dirasuki niat penasaran, selanjutnya mereka akan memutuskan untuk membaca hingga akhir, dan seperti yang sudah aku idam-idamkan, karya ini akan mengguncang dunia perbukuan Indonesia. Itu bukan sebuah kesombongan, karena tidak pernah aku katakan pada orang lain, cukup untuk diriku sendiri.

Itulah sebabnya aku sekarang duduk di sini, di dalam kamar kecilku, kamar yang yang cukup lengkap, setidaknya menurutku sendiri. Ada meja dan lampu belajar yang akan menjadi saksi lahirnya sebuah karya sastra hebat dari penulis muda, ada lemari baju yang merangkap menjadi rak buku di atasnya, ada dispenser tempat biasa aku menyeduh kopi, dan pendatang baru dalam kamarku; sebuah potret wanita Korea tepat di atas kepalaku sekarang.

Potret wanita Korea itu, aku sebenarnya tidak tahu siapa dia, tapi dengan parasnya yang manis, matanya terlihat berat tetapi pas dengan bulu mata yang lentik, rambut pendek sebahunya yang hitam, kecil hidunganya dan  bibir tipis yang sungguh merona merah, tentu dengan wajah tirus yang putih, seputih seharusnya. Aku memutuskan dia layak ada di kamarku. Setidaknya untuk menggantikan Darmawati yang sudah kudepak dari hidupku seminggu lalu. Aku berpikir demikian karena tidak mungkin potret wanita Korea itu akan menggangguku, lain halnya dengan Darmawati yang selalu menganggu. Bukan hanya menggangu dia sudah seperti hantu yang terus menghantuiku dengan perangainya yang buruk.

Membayangkan isi kepalanya saja membuatku menyesal memikirkannya, apalagi omongan dan kehadirannya.

Darmawati sebenarnya wanita yang manis, apalagi dengan lesung pipitnya yang selalu muncul diterpa rasa apapun, tapi bagiku hidup dengannya membuat hidupku sia-sia. Setiap kali Darmawati datang ke kamar kecilku selepas dia pulang kerja, kata-kata yang keluar dari mulutnya memusingkan kepalaku. Dia selalu membicarakan aktivitasnya di tempat kerja, acara TV yang dia tonton, bahkan tetangga di kampungnya yang cerai—siapa pula yang peduli dengan tetangga sialannya itu.

Sekarang dengan kehadiran potret wanita Korea itu semuanya tampak lebih baik, setidaknya ada wajah yang memandangiku dan kupandangi setiap kali kepalaku menimbang-nimbang plot, tokoh atau konflik. Sejujurnya aku membutuhkan itu. Ya, aku membutuhkan sentuhan-sentuhan itu, entah apa namanya. Seseorang yang kupandangi dan memandangiku. Itu sangat membantuku dalam mewujudkan calon karya sastra luar biasa ini. Wajah yang kupandangi itu merehatkan kepalaku dalam pencarian ide untuk unsur dalam karyaku ini. Seperti aku berlari jauh dan kelelahan kemudian menghirup udara lalu mengerluakannya. Aku butuh sirkulasi itu dalam kepalaku.

Hal itu aku putuskan setelah beberapa hari aku mendepak Darwati dari hidupku. Aku mulai merasa aneh tanpa gangguan-gangguan yang ditimbulkan dirinya. Kepalaku terasa pergi terlalu jauh untuk menemukan unsur dalam karyaku ini. Bahkan sesekali aku tersesat dalam pikiranku sendiri, tersesat di tengah-tengah labirin pikiran, hingga akhirnya aku lelah sendiri dan memilih tidur dan berharap ketika bangun aku berhasil menemukan apa yang aku mau.

Ide itu sendiri berawal karena Darmawati. Ide untuk memasang potret wanita Korea itu. Potret itu miliknya, entah untuk apa dia memilikinya. Dia pernah memberitahuku kalau wanita dalam potret itu adalah salah satu personil girl band Korea yang beranggotakan Sembilan orang. Aku lupa namanya, nama girl band itu dan nama wanita dalam potret tersebut. Tentu waktu itu aku tidak memperhatikan dengan baik saat dia datang ke kamarku dan memperkenalkan bawaanya. Aku tidak ada hubungannya dengan wanita dalam potret itu, apalagi konsep menyanyi bersembilan orang sekaligus tidak masuk akal bagiku. Dan kedatangannya kali itu mengusir calon ide dalam kepalaku, tentu merusak suasana hatiku. Saat suaranya sudah terdengar di balik pintu—suaranya dengan nada-nada manja memanggil, aku juga terheran apa saat dia berbicara nada suaranya selalu seperti itu—aku tahu itu kabar buruk.

Aku sebenarnya sadar kunjungannya setiap hari itu atas usulku. Kurang lebih sudah setengah tahun itu terjadi. Aku terlalu malas untuk pergi keluar, aku keluar hanya untuk hal-hal penting, mencari makanan, berbelanja dan lebih memilih beraktivitas di kamarku, membaca buku, menonton film, sesekali melihat program acara di TV, atau melihat sesuatu yang menarik di internet. Aku mengusulkan padanya dia boleh setiap hari datang kesini agar kami dapat bertemu. Dan itulah yang terjadi. Tetapi bukan itu yang aku maksud saat itu. Aku berharap dia datang kepadaku untuk menemaniku. Agar aku tidak selalu merasa sendiri. Aku memang suka menyendiri tapi tidak setiap saat. Siapa pula yang betah hidup dalam kesendirian?

Memang beberapa bulan setelah itu aku merasa baik dengan kunjungannya , kami kadang menonton film bersama, makan malam bersama dalam kamar kecilku, bahkan beberapa kali Darmawati juga menginap di kamarku jika esok hari libur. Dan paginya kami sarapan bersama, jikalau ia mengatakan terlalu malas untuk pulang, aku meminjamkan kaosku lalu seharian ia menemaniku di kamar lagi. Beberapa kali ia memaksaku untuk menghabiskan waktu di luar.

Karena tidak enak dengan permintaannya yang telah setia menemaniku, aku mengiyakan, tentu dengan syarat aku yang memilih tempat.

Tidak ada restoran ataupun bioskop, sebab restoran terlalu ramai bagiku dan aku terlalu muak untuk mengantri di bioskop. Biasanya kami hanya duduk di taman pinggir kota, atau berjalan kaki untuk membeli makanan dan mengambil jalan lain yang lebih jauh ketika pulang. Sejujurnya dia cukup manis ketika merasa lelah karena berjalan kaki.

Dan sekarang hanya ada aku dan potret wanita Korea itu, tidak ada Darmawati lagi. Aku sudah bersiap dengan plot, tokoh atau hal lainnya, tinggal memulai sebuah kalimat hebat lalu aku akan terbiasa dan menyelesaikan karyaku ini. Aku tahu betul itu karena beberapa penulis hebat pernah mengatakanya. Ini adalah hal baru bagiku, menulis. Tapi tidak dengan dunia kepenulisan, aku tahu betul beberapa penulis hebat di dunia, bahkan koleksi buku-bukuku beberapa mewakili penulis hebat di zamanya.

Keinginanku menulis juga sebenarnya ditekan dengan keterpaksaan. Setelah lulus dari perguruan tinggi aku terlalu malas untuk mencari pekerjaan. Konsep bangun pagi setiap hari dan pulang sore hari tidak masuk akal bagiku. Bisa-bisanya banyak orang terbiasa dengan hal itu. Bagiku itu tidak masuk akal dan aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Untuk itu aku mulai menulis dan menjadi penulis rasanya cukup baik bagiku, setidaknya menjadi penulis tidak akan membuatku menyesal di hari tua. Walaupun ini membuatku semakin dekat dengan sakit jiwa.

Bayangkan saja kau dituntut untuk aktif dan berproduktif dalam menghasilkan ide-ide. Tetapi sisi baiknya aku hanya perlu menuliskannya, tidak perlu ikut campur dengan urusan dunia dengan hal-halnya yang memuakkan. Aku rasa banyak penulis besar sempat memikirkan beruntungnya dirinya karena hal itu.

Kepalaku sekarang tak berhasil membuat kalimat apapun, padahal aku sudah yakin dengan apa yang ingin aku tulis kali ini. Entah apa yang dapat membantuku agar bisa menyelesaikan tulisanku ini. Aku memutuskan memikirkan hal lain yang kuharap bisa membantuku, tetapi aku terlalu asing dengan banyak hal. Siapapun tidak bisa memikirkan hal-hal yang menurutnya asing, dan kebuntuan ini membawaku untuk memikirkan Darmawati kembali. Dia adalah hal yang paling tidak asing bagiku, aku sudah mengenal banyak tentang Darmawati. Aku rasa menghubungi Darmawati tidak ada salahnya.

Aku bosan menunggu dia mengangkat teleponku. Ini usahaku yang ketiga kalinya untuk menghubunginya. Dan kali ini dia mengangkat teleponku, suaranya yang sudah lama tidak kudengar membuatku gugup, sialan!

“Hai, bagaimana kabarmu?” tanya riang Darmawati membuatku gugup
“Aku baik-baik saja, kamu lagi sibuk?”
“Tadi aku sudah tidur.”
“Maaf membangunkan...”
“Tidak apa-apa, aku juga senang menerima telepon darimu.”

Kata-kata yang terakhir keluar dari dirinya membuatku benar-benar gugup kali ini. Aku benci dengan keadaan gugup atau keadaan aneh lainya. Dan Darmawati sering membuatku gugup, dan itu adalah salah satu alasan aku memilih jauh dari dirinya.

Spontan saja aku bertanya tentang potret wanita Korea miliknya yang tertinggal di kamarku. Dia menjawab aku boleh menyimpanya. Aku berterima kasih tentang hal itu. Dan pembicaraan kami pun berlanjut mengenai potret wanita Korea itu yang sekarang sudah menjadi hiasan dinding kamarku.

“Potret itu bisa menemanimu, aku tahu betul kau benci sekaligus suka dengan sendiri.”
“Yah, dia cukup cantik untuk menggantikanmu,” jawabku setengah tertawa.
“Maaf sudah banyak menyusahkanmu,”
“Tidak apa-apa kau terlihat cukup manis jika menyusahkan orang lain,”
“Aku anggap itu pujian, terima kasih.”

Setelah percakapan itu, dalam hati aku merasa harus banyak berterima kasih kepada Darmawati. Dia sangat baik bagiku. Aku tidak memikirkan apapun lagi malam itu selain kebaikan Darmawati, sedikit menyesal dalam diriku karena meninggalkanya.  Tapi aku rasa itu pantas bagiku dan baik baginya.

Aku rasa akan jadi baiknya jika aku menulis tentang Darmawati. Ya, aku sudah memilih untuk menulis tentang Darmawati. Tentang Darmawati dan kebaikanya dan mungkin juga potret wanita Korea itu. Tentang diriku? Rasanya lebih baik jika tidak ada aku. Toh aku sudah terlalu banyak hadir sedari tadi.